Si Tou Tumou Timou Tou

manguni.gif

Wacana

archives

forum

opinion

in-depth


Komunitas

Sosial

Sejarah

Agama

Tradisi

Other

Sastra:

Puisi/syair

Novel

Grap-grap

Script

References:

Sosial

Politik

Ekonomi

Budaya

Sejarah

Filsafat

Agama

Sastra

IPTEK

Internet
waruga.jpg

Home · Articles · Forums · Chat · About Us ·
cakalele2.jpg Ekplorasi ide-pemikiran Tou Minahasa dan keminahasaan kirim ke: nuwu@sulutlink.com
Minahasa adalah sel-sel global, fakta yang tak bisa ditampik. Ini tak sekadar cerita tapi berjalan atas tilikan sejarah dan representasi amanat 'roh' the founding fathers minahasa...

minahasa.gif


ARTIKEL:

12 Februari 2002

Minahasa Di Tumani Globalisasi

Oleh : Veldy Umbas

Sapakem si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya! Asi endo maskasa, sa me’em si ma’api, wetengan e pa’tuusan, wetengan eng kayo’ba’an. Tumani e kumeter, mapar e waraneij, akad se tu’us tumou on tumow tow. Bumi pada rotasinya, yakni ketika matahari pemberi siang memberi cerah bagi upacara pada hari itu. Suara burung manguni mengumandang nyanyiannya pertanda musyawarah adat direstui. Tonaas wangko segera menggelar rapat raksasa yang diikuti oleh seluruh elemen masyarakat Minahasa ketika itu. Mulai dari para prajurit yang disebut Waraneij, para pekerja keras yang dipanggil dengan nama Kumeter, para tetua masyarakat yaitu Pa’tu’usan. Dan para elit yakni para Tonaas sebagai manusia terpilih, dan Walian yang menjadi perantara spiritual masyarakat Minahasa. Warna demokrasi Minahasa yang kental telah memberi pola sebagai demokrasi egaliter, sangat tampak dalam pengambilan keputusan. Semua sepakat. Semua seperti sediakala, seksama menanti penentuan masa depannya. Para walak, yakni komunitas yang dibagi dalam tiga kelompok komunitas yang besar, yang dipimpin oleh masing-masing pemimpinnya berbaris teratur mengitari Batu Pinabetengan. Di tempat yang kemudian menjadi monumen historis itu, mereka lalu bersepakat untuk mengadakan pembagian wilayah. Mengisi bumi yang kosong. Serta melaksanakan nuwu (amanat) sumerar. Dalam bahasa lain, sumerar kemudian diartikan sebagai diaspora. Yaitu amanat untuk berpencar, mengikuti arah mata angin menuju negeri yang akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Laksana amanat pada saat Abraham dan Lot memilih tanah untuk mereka bermukim, tampak serupa pula ketika, Tonaas Wangko yang menerima amanat dari sumber penghidupan yaitu Empung Kasuruan, membacakan nuwu in tu’a: ”...Dengan ini kami menyatakan, dunia ini adalah tanah air kita semua. Bila pada satu saat, burung telah memberi tanda yang pasti, bagilah dunia ini hai kamu pemuka masyarakat pemberi contoh. Bukalah wilayah pertanian baru, hai kamu pemimpin dan penggiat kerja, wahai prajurit perkasa, agar keturunan kita dapat hidup dan memberi kehidupan...” Kesepakatan diaspora itu terpaksa memang harus diambil, sungguh nampak sangat visioner. Kalkulasi sosialnya tentu sangat jitu. Terbukti di kemudian hari, Tountumuwu memang menaklukan negeri itu. Mereka kemudian tersebar di wilayah negeri Tonsea, wilayah sekitar danau Tondano, wilayah selatan yang umumnya dihuni oleh Tou Tontemboan. Semangat diaspora ini pun di kemudian hari tidak menghilangkan semangat mapalus sebagai kebersamaan dalam kemandirian, karena akar historis merujuk pinabetengan sebagai pemersatu kultur tou Minahasa. Tentu, tidak lagi kita sangsikan ungkapan para leluhur tentang, sa kita esa, sumerar kita. Ang sumerar, esa kita. Meski kita terpisah secara teritorial, kita tetap satu. Betapa suatu prinsip hidup yang sangat menjaga nilai-nilai kerukunan, kebersamaan. Dalam bahasa arab mereka menyebutnya Ukuwah. Dan karena itu selalu terjalin tali silahturahmi. Semangat Tumani, atau membuka kebun baru untuk bertani, ternyata tidak sampai di situ. Bakat visioner bawaan dari para leluhur tountumuwu selalu menuntun masyarakatnya untuk tetap kreatif dan inovatif. Setelah negeri-negeri dalam kesepakatan diaspora semua ditaklukan. Maka, wilayah teritorial itu pun menjadi sempit cakupannya. Dengan modal bakat bawaan itu pula, komunitas ini Tumani di kebun global. Bentangan dunia luas pun dirambah. Dibukalah perombakan-perombakan baru di tanah dan teritorial global. Sejauh hati berkehendak, di situlah mereka pergi. Dari New Zeland sampai Zurich. Dari Sabang sampai Marauke. Selalu taranak Tountumuwu berhasil menggarap kebun-kebun global. Menakjubkan bila melihat hasil sensus yang terjadi pada tahun 1930 seperti yang diperlihatkan oleh data budayawan Bert Supit yang adalah penelitian Jones, bahwa tou Minahasa yang hidup tersebar di luar daerah sudah mencapai 12,5% dari seluruh orang Minahasa kala itu. Atau paling tidak sekitar 30 ribu jiwa tou Minahasa telah tersebar di luar Minahasa, atau berada di negeri perantauan. Ini paling tidak telah menunjukkan bahwa jiwa petualangan tou Minahasa memang sangat tinggi. Mereka merambah dunia luas, sebagai amanat Tumani. Namun, untuk melakukan amanat sumerar itu tentu tidaklah mudah. Paling tidak ia harus memiliki bekal bermental seperti para leluhur yaitu, ngaasan, niatean, dan mawai. Ngaasan, yang kira-kira dalam terjemahan bebas memiliki makna; hikmat dan kebijaksanaan . Lalu niatean, adalah semangat yang kokoh. Sekali sudah diputuskan pantang ia menyerah. Dan mawai tentu saja adalah syarat mutlak. Mawai atau kuat, dalam terminologi lain, yaitu ketter. Tentu pengertiannya tidak semata dalam arti fisik. Tapi sungguhpun ia telah memiliki kebijaksanaan, tekad dan kokoh, tapi tidak dibarengi dengan kekuatan jasmania maupun rohania, maka semangat sumerar itu akan kandas. Dan memang dalam nuwu in tu’a, sudah pula disebutkan bahwa: Tumani e kumeter, mapar e waraneij, akad se tu’us tumou on tumow tow. Yakni agar dibuka lagi ladang yang baru oleh orang-orang yang bergiat kuat (kumeter) pula para Prajurit (waraneij) secara bersama-sama harus sampai pada hakikat memberikan kehidupan baru (tu’us tumou se tumow tow). Nilai-nilai kemanusiaan ini yang oleh Sam Ratulangie dijadikan falsafah hidupnya, memang merupakan konsepsi hidup yang sangat cerdas dan visioner. Lalu ketika lembaga apar sebagai penentu batas-batas wilayah peladangan dan pemukiman telah sampai pada batas—tak ada lagi yang dapat diapar, tentu Tou minahasa tak kurang akal. Karena dalam amanat nuwu in tu’a tersebut secara universal semangat itu. Sapakem si kayo’ba’an anio, tana’ ta im baya Asi endo makasa. Bahwa, sejauh endo (pergi), dalam kehidupan ini, adalah juga tanah kita. Tentu bukan dalam arti harafia tanah sebagai teritorial kekuasaan. Tapi sebagai semangat diaspora. Para leluhur tentu tidak sedang membayangkan suatu proses yang sistimatis dari kesepakatan boarderless dengan globalisasinya. Pula mereka tentu belum mampu menjejaki penaklukan yang dilakukan oleh Marcopolo, Christopher Columbus, Vasco de Gama dan Alexander Agung. Tapi semangat yang sama ada pada komunitas ini sampai kini. Semangat “penakluk dunia” yang terpatri dalam darah tountumuwu selayaknya menjadikannya mampu mengatasi persoalan kehidupan agar anak cucunya, para taranak, mampu hidup layak di bentangan dunia ini seperti yang tersirat dalam falsafah tumou tou. Karena itu. Meski sudah terpisah oleh jarak. Tapi nuwu e tu’a tetap mengendap dalam kesadaran kultural masyarakatnya. Yakni, persatuan dan semangat kebersamaan global, melalui spirit sa kita sumerar esa kita. Layaknya para zionist merindukan dipertemukan di sungai Babilon satu kali kelak—by the river of babylonnya Boney M, toutumuwu pun akan merindukan sekali kelak, mereka di persatukan di Batu Pinawetengan yang telah menjadi semangat “penaklukan global” Tou Minahasa.