| Home | Profile | Article | Cerpen | Book | Puisi | Picture | Music | Collection | Journal |

 

 

CERPEN :

23 November 2002
Suraro
Oleh: Veldy Umbas

Serbu?!  Tiarap?! Mundur?!
Hening. Tak ada lagi suara dentum ledakan, desing peluru yang bagai melewati celah-celah rambut dan mengikis daun telinga.  Suara telah menghening.  Tapi dia masih tetap saja merunduk di sudut pagar tembok, di bantalan parit rumahan, sementara matanya awas penuh kewaspadaan. Badannya masih telengkup dan berharap pesawat- pesawat pemburu Zero dan Kobayasi milik jepang masih berputar-putas di atas kepala tak melihatnya.    Merasa keadaan sudah aman, dia melesat meninggalkan wilayah pemukiman, menuju persawahan.  Melewati pematang, dan akhirnya menyeberangi sungai.  

 

Di situlah markasnya.  Batang Pohon yang sangat tinggi, dan besar, lubang persembunyian yang ditutupi oleh rerumputan yang  lebat, serta gundukan batu kali yang sengaja di susun tinggi menyerupai benteng pertahanan.  Semua direncanakan dari  situ.  Kapan harus bertempur habis-habisan, kapan hanya sekedar menunjukan kalau tentara tidak mati,

tapi masih ada perlawanan.  

Dia bergerilya setiap harinya. Terkadang ada waktu-waktu yang dirasa sangat pas untuk melakukan penyerangan,

kadang juga, ada hampir sebulan penuh tak pernah terjadi gempuran seperti yang biasa dilakukannya.

Di situ pula, dia merakit bom, meruncingkan bambu, mengasa pedang dan pisau, juga mendesain senjata baru, sesuai dengan kebutuhan dan medan.  Dia memang prajurit  sejati. Perang adalah hidupnya. Karena hidupnya adalah

perang.

Suatu ketika saat patroli Jepang melewati jembatan Moyondok, dia  telah merencanakan strategi jitu untuk melumpuhkan iring-iringan pasukan yang lengkap dengan senjata otomatis.  Perangkap demi perangkap dibuatnya, sangat rapi

dan terukur. Ada  jarak, ada hitungan waktu, ada komando, bukan dengan pesawat radio perang, tapi melalui

tetengkoren, yaitu semacam bambu kosong yang dipukul sehingga menghasilkan bunyi.
Alhasil, patroli Jepang itu berhasil dilumpuhkan. Senjata Jepang dirampas, dan semua logistiknya digunakan oleh

pejuang untuk mempertahankan diri. Tersohorlah namanya,  Sersan Kakindean. Semua mengenalnya sebagai Suraro (tentara) yang berani mati, yang berjuang untuk keutuhan bangsa negara.

Sampai akhirnya tentara Jepang dilumpuhkan, Sersan Kakindean yang sudah naik pangkat menjadi Mayor, bergabung dengan tentara rakyat. Di situlah dia lebih dikenal dengan panggilan Suraro, yang dipelesetkan dari bahasa Belanda , Soldadu (inggris: Soldier).  Dulu waktu jaman Belanda, dia menjadi tentara KNIL, dia ternyata bukan sekedar pemberani, tapi juga licik dan bengis.  Kejadiannya  yakni ketika dia dipercayakan memimpin pasukan untuk melakukan  penyerbuan pada kantong-kantong pejuang Indonesia yang menurut Belanda adalah pemberontak.  Dalam perjalanan, malah pasukannya dilucutinya sendiri.  Y ang memilih berjuang untuk kemerdekaan dibiarkan hidup dan ikut bersama dia bergerilya, sementara yang memilih ikut Belanda dibantainya.   Pernah juga dia menghancurkan maskas Belanda seorang diri.   Tak heran, namanya disebut Kakindean  yang dalam bahasa Minahasa berarti, menakut kan, sejak dari dulu dia memang sudah berperangai menakutkan.

Dia jugalah yang berjasa saat terjadinya gerakan merah putih di Teling, Manado. Yakni perebutan kekuasaan Belanda secara heroik dengan menduduki markas militer Belanda, sekaligus mengibarkan Merah Putih di tanah yang waktu itu masih dijuluki, the twelve privince of Nedherland (propinsi ke dua belas Belanda).

Setelah sepenuhnya berada di kekuasaan Indonesia, kemerdekaan tak juga dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat daerah oleh sistem pemerintahan yang terpusat.  Sehingga muncullah gerakan PRRI/Permesta. Gerakan yang oleh penggagasnya  disebut sebagai protes atas ketidak adilan pemerintahan  yang centralis yang mengabaikan pembangunan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat daerah.

 

Setelah Ventje Sumual cs, menanda-tangani Piagam Permesta di Makasar, bersama tokoh-tokoh  pergerakan lainnya, Suraro pun ikut bergabung.  Dan bersama Permesta, dia menjadi tentara yang sangat ditakuti.  Sampai, akhirny a Permesta gagal mempertahankan perjuangannya, Suraro tetap tidak berhenti berjuang.

Baginya perjuangan tidak akan berhenti sebelum kemerdekaan y ang sesungguhnya itu didapatkan.  Entah apa artinya kemerdekaan bagi Suraro, tapi selalu ketika bertemu dengannya terdengar saja, pekik Merdeka yang disuarakan dengan keras dan lantang. Merdeka!!!

Satu hari ketika gerilyanya diketahui oleh pihak militer berkuasa. Gerakan intelegen pihak RI rupanya sangat cekatan dan tanggap akan tanda-tanda gempuran Suraro Kakindean.

"Maju, serang. Gempur. Awas, jangan sampai ada yang tersisa. Bantai semuanya.  Kita harus merdeka."

Namun terlambat. Pihak RI telah lebih dahulu mendeteksi serangannya.  Suraro terkepung.

�Suraro? Menyerahlah... Anda sudah kami kepung... � Suara dari balik semak-semak menyampaikan pesan kepada Suraro.  Merasa curiga, Suraro tetap melakukan serangan dengan membabi buta. Senapan  handmadenya terus menghantam sasaran kosong. Sampai akhirnya dia menyadari perlawanannya tak berarti lagi.

"Penghianat Republik. Kalian semua penghianat...!"
Suraro memaki-maki, dengan kesal dibuangnya senapan buatannya lalu mencari perlindungan dengan menaiki pohon kelapa yang kira-kira tingginya 12 meter.  Dari atas sanalah, Suraro tetap melakukan propaganda.
"Jangan mudah  percaya kepada mereka yang mengaku pejuang. Mereka tak pernah berjuang untuk rakyat. Mereka itu penghianat republik. Mereka itu drakula, bisanya cuma mengisap darah."

Para pihak republik menunggu di bawah pohon kelapa.  Mereka mencoba bernegosiasi. Tak ada senapan yang diarahkan kepada Suraro. Semua memintah dengan damai tapi Suraro tidak mau turun.

"Ayolah Suraro. Jaman sudah aman. Tidak ada lagi penjajahan."

"Awas. Jepang itu biadab, Belanda itu licik, tentara Pusat diktaktor,"katanya lagi.

"Ayolah. Turunlah. Belanda sudah kalah. Jepang sudah pergi.  Minahasa sudah dalam  tangan  Republik. Semua sudah aman."

Semua menyaksikan Suraro yang tidak ingin turun dari pohon kelapa. Suasana kampung korem selalu menjadi ramai bila Suraro, tentara pensiunan yang kini menjadi penghuni di RSJ Korem mulai beraksi.

Pak RT kembali meyakinkan Suraro.  Warga kampung Korem kembali diramaikan oleh aksi serangan fajar.  Akibatnya anak sekolah berkurumun di bawah Pohon kelapa itu. Ada ibu-ibu yang meninggalkan dapur, sementara para prajurit yang biasanya berangkat apel pagi Cuma bisa senyum melihat tingkah Suraro pagi itu. Sementara orang-orang yang melihat dari  kejauhan cuma bisa tersenyum dan ada pula yang terbahak-bahak.  sungguh suatu pagi yang indah.