| Home | Profile | Article | Cerpen | Book | Puisi | Picture | Music | Collection | Journal |

 

 

CERPEN :

2004
Tikus-tikus Rumah
Oleh: Veldy Umbas

Copus se’i,” spontan ibu berteriak dengan kakinya terangkat sementara tangannya menggaruk-garuk angin lalu ekspresi wajahnya menampak ketakutan yang sangat.  Kami semua ikut terkejut dengan teriakannya lalu semua orang yang hadir di pesta itu sontak dibuat riuh oleh suara yang gaduh.

Belum lagi hilang ketakutannya, karena dua kakinya masih saja berada di bangku tempat duduk panjang yang biasa ditata bersama meja yang  panjang sekitar sepuluh meter, seperti pada tiap kali ada acara pesta kawin.  Baru setelah seorang yang lain mengatakan, “Sudah-sudah,” lalu para hadirin kembali duduk-duduk sambil menunggu sang pengantin naik di pelaminan.

Tiba-tiba suasana hening, lalu semua mata terpaku pada sepasang pengantin baru yang bersanding di puadai.  Mereka tampak bahagia. Si gadis yang masih belia, mungkin belum lagi dua belas tahun usianya, dinikahi seorang pemuda asal kampung lain yang konon pekerja keras dan lama bersimba keringat di rig lepas pantai saat di perantauan. Si pemuda baru saja pulang, dan orang tuanya menjodohkan anaknya dengan si belia yang baru saja mekar. 

Suasana sudah kembali agak riuh lalu ibu berbisik. “Itu tadi ada tikus yang lewat,”bisik ibu kepada sahabat di sebelahnya yang juga menghimpit aku di tengah.  Belum ada umur sembilan tahun aku ketika itu, bila tak salah ingat, dan sejak saat itu, ibu selalu sangat berhati-hati bila ada tikus yang lewat di kolong meja dan dia berusaha untuk tidak kaget, agar orang-orang tidak dibuatnya gaduh karena itu.

Namun lain hal bila di rumah.  Selalu saja, tikus membuat masalah besar dalam rumah tangga kami.  Apapula, ayah yang sangat tidak peduli dengan urusan serangga apapun, selalu mengacuhkan bila ibu mengaduh tikus rumah kini semakin banyak.  Beberapa tetangga kami yang lain malah senang mengkonsumi binatang yang terkenal suka mencuri makanan itu. Enak. Begitu kata Doni, satu ketika aku menanyakan rasanya.  

Aku sendiri kejangkit  fobia tikus hingga melihatnya pun bagiku sudah sangat haram.
Agar ia terhindar dari ancaman paranoidnya itu, ibu sengaja memelihara kucing yang agak banyak, hingga ini tentu saja membuat ayah marah.  Bau rumah menjadi sangat tidak sedap dan kami terpaksa harus bertoleransi dengan itu.

Ingat aku, satu masa ayah marah-marah. Di hidungnya tercium bau yang tidak enak dan sangat mengganggu. Tapi ibu yakin tidaklah bau itu datang dari dalam rumah. Pasti sampah depan rumah yang sudah menimbun yang memberikan bau tak sedap.  Esoknya, bau yang runjam menyengat itu mengisi tiap sela dan rongga rumah kami.  Pastilah sesuatu yang busuk sudah masuk  rumah ini. “Apa kubilang. Pasti ada bau bangkai di rumah ini,”teriak ayah.

Lalu semua kami ikut menggeledah rumah, memeriksa semua sudut rumah. Alhasil, ditemukanlah bangkai tikus yang membusuk di sudut rak-rak buku yang usang milik kakek, yang sudah tak pernah disentuh lagi.  Kalau bisa diotopsi pastilah, dia terluka oleh gigitan kucing peliharaan itu, lalu bersembunyi di rak-rak buku yang pasti tak terjangkau oleh kucing peliharan ibu.

Karena udara pengap yang tertutup di dalam lemari, maka bau itu pastilah juga ikut menyerap ke dalam benda-benda dalam rak itu. Ya, baju, buku, piring,  semuanya terkontaminasi polusi bangkai yang terkatup di lemari milik kakek itu.

Kami pun memutuskan agar semua buku itu dikeluarkan dari situ, lalu dibersihkan agar keawetannya  menjadi lebih langgeng.  Ayah, membalik-balik buku-buku tua yang usang, sementara ibu menyusun kembali baju-baju yang sudah tua, dan tak pernah lagi digunakan.  Merasa lebih cocok membersihkan buku-buku tua itu yang beberapa diantaranya sudah hampir lapuk, aku kian  telaten dan bersemangat.  Sampai akhirnya aku membersihkan tumpukan surat dan kertas yang dibundel dalam satu map. 

Surat-surat itu tampak usang, dan sangat tua sekali.  Ayah yang sibuk dengan merapihkan kembali buku-buku yang berdebu itu, tak sedikitpun memperhatikan map usang itu.

Malah aku semakin tertarik dengan map tua tersebut. Barangkali ini adalah milik berharga kakekku, hingga barang yang sudah selayaknya menghuni tempat sampah masih terus di simpan-simpan di lemarinya.

Rasa penasaran itu, membuat aku membuka isinya dan membaca kertas-kertas ditulis oleh tulisan tangan. Pada bagian awal, tertulis. “Akta penerbitan surat tanah.”  Lalu pada halaman kedua  dan seterusnya.  Memang, Kakek terkenal sebagai tuan tanah di kampung.  Begitu banyak tanah dan kebun yang menjadi miliknya hingga kini dia sudah lama meninggal pun.

Lalu aku membaca satu lembar lagi pada bundelan itu.  “Surat kepada Emi, kekasihku.”

Tak salah lagi itu pasti surat cinta.  Kututup lagi map itu, seolah tak kuminati isinya dan kembali membersihkan debu-debu dengan cara mengibaskannya.

Constantine Philipe, pasti seseorang yang sangat berarti.  Dan ketika makan malam, sempat aku bertanya kepada ayah tentang nenek.  Kata ayah nenek dulu adalah seorang wanita Belanda yang ketika sejak aman perang,  nenek kembali ke  tanah Belanda bersama dengan orang tuanya. Sementara, satu-satunya anaknya, yakni papa,  tidak diijinkan dibawa oleh kakek.

”Itulah makanya, ayahmu masih saja di sini. Tidak ke negeri Belanda,”katanya mengekspresi nilai-nilai nasionalismenya.

Nanti setelah makan malam, dan ayah sudah sibuk dengan korannya, aku diam-diam mencuri map itu yang sudah tidak lagi diletakkan di lemari.  Dan aku segera pamitan untuk pergi tidur.  Kututup pintu kamar, dan hanya menggunakan lampu minyak aku coba membaca surat-surat cinta kakeku kepada Emi.

Salah satu isinnya begini dia menulis:

”Stine kekasihku.  Saat ini pasukan kami sedang mengalami  dualisme.   Banyak teman-teman yang sudah pro pada Republik.  Sementara, drop makanan dan pakaian masih saja berasal dari pemerintah Belanda.  Emi. Aku tahu, kau mendukung perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.  Meksi engkau adalah bangsa kolonial. Tapi percayalah, aku tak akan berkhianat pada bangsamu.  Meski kini aku bersama pejuang republik, aku akan tetap berusaha memberi bantuan sebisanya.”

Sepertinya, kakekku mengalami konflik keputusan atas apa yang sedang terjadi.  Walau akhirnya toh dia memutuskan untuk bergabung dengan tentara rakyat.  Aku bisa memahami arti cintanya kepada nenekku. Sayang, kata ayah, mereka lalu tidak lagi bertemu.  Nenek segera meninggalkan tanah air dan berpisah dengan keluarganya yang tercinta.

Satu surat lagi.  Tapi masih disegel di amplop yang warnanya sudah memudar. Baragkali warna aslinya merah mudah.  Ditujuhkan kepada kakekku, oleh pengirim yang tertulis di balik amplop, Constantina Philipe.  Tapi hatiku agak ragu. Sebuah amplop yang ditujukan kepada kakek, tapi masih dalam keadaan utuh.  Tentu saja, aku tak seberani membaca surat yang pertama yang memang jelas sudah terbuka.
Amplop itu itu pasti tidak sampai pada kakek.  Dan kuurung membukanya sampai ketika  mentari pagi merekah di timur, dan aku bersiap untuk ke sekolah. Semalam tidurnya agak telat hingga pagi datang secepat honda cb ayah yang sudah siap mengantar aku ke sekolah. Sebenarnya bukan mengantarkan, tapi berbarengan dengan ayah yang juga akan pergi mengajar di sekolah yang sama.

Di perjalanan, ayah kutanyai beberapa pertanyaan yang agak menginvestigasi, soal kakek.  Ayah tentunya tidak bisa menjelaskan sepuas hatiku.  Dan selepas ayah menaruh motor di parkirnya, aku masih mengejar. Tentu saja, ayah agak binggung, tapi aku punya jawaban ampuh.  “Sebagai cucu tertua, aku berhak dong untuk mengetahui riwayat kakek,”kataku berargumentasi.

Ayah hanya senyum seperti biasa bila aku terlalu dinilai agak mendewasakan paksa pemikiranku.  “Kelak kau akan tahu bahwa kakekmu seorang pejuang yang sejati.” Begitu dia menimpali, sebelum lonceng ke dua, tanda jam semua harus siap, lalu lonceng ke tiga yang menandakan jam pelajaran di mulai.
Sepanjang mata pelajaran guru kelas tiga yang sedari tadi berteriak-teriak hingga suaranya parau, tak juga meningkatkan energi konsentrasiku.  Rentei yang bersebelahan bangku denganku menjadi ragu, jangan-jangan bukan Rengkom yang dia  kenal yang sedang duduk di sebelahnya.  Kami memang suka mendengar cerita-cerita kuno di rumah kakek Deres hingga dia bercerita satu ketika dewa Soputan menitis pada seorang anak kecil, dan anak kecil itu bisa berbicara dengan bahasa orang tua kono. Tentu Rentei agak terkejut ketika aku menyentuh lengannya. Dia agak menghindar mengamati gerak lakuku.
Namanya memang agak aneh, karena dalam bahasa daerah kami berarti tinggi. Dan ia memang agak tinggi tak sesuai postur badan anak-anak di kelas tiga.  Tubuhnya tampak kekar dan kuat. Mungkin pula karena dia setiap pulang sekolah selalu ikut membantu orang tuanya mencangkul di kebun.

”Sepertinya kau punya masalah,”tanya Rentei agak penasaran. Ia telah menjadi kawan baikku sejak duduk dibangku kelas dua. Dan setiap kali aku punya rencana bahkan masalah, kami berdua selalu berunding dan mengerjakan.  Kali ini dia agak ragu. “Tapi kalau mau mencuri telur ayam lagi aku sudah tak mau,”katanya.  Aku menceritakan surat suratan kakek-nenekku, dan dia menyarankan untuk segera coba membacanya.  Dan sore yang panjang karena tak sabar menunggu malam tiba, aku kian penasaran. Hingga malam sudah menghantar para penduduk desa terlelap, ayahku yang sedang membaca koran akhirnya menyuruhku pergi tidur. Hal ini aku lakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan berarti atas semua kejahilanku.

Akhirnya, aku lancang membuka surat cinta nenekku itu.  Bau tua menyengat hidung. Tak perlu menyobek dengan susah, karena sedikit tekuk saja, amplop itu sudah sobek.  Tentu butuh kehati-hatian yang sangat. Aku mulai mengeluarkan isi surat yang warnanya kini agak kemuning. Tanganku agak basa oleh keringat, sementara detak jantungku kian berpacu cepat.  Apa gerangan surat terakhir pada kakekku. Tentang keputusannya meninggalkan kakekku, juga anaknya yang akhirnya memberikan cucu kepadanya.
Sudah sangat tua surat itu.  Dan aku memperlakukannya seperti bayi. Menyentuhnya pelahan, dan kuletakkannya di atas bantal, sementara bantal itu agak kurapatkan ke cahaya lampu pijar di kamarku.
”Ender jang ku tjintai” Begitu dia membuka suratnya.  Tak ada tanggal di situ, tapi yang pasti surat itu dimaksudkan ketika dia hendak meninggalkan kelurganya.  Kakek pun, ternyata tidak pulang hidup, karena kerandalah yang mengantarnya pulang kampung bersama kereta alam baka.   Pasti tak ada satupun yang menemukan surat ini hingga tak ada yang berani membukanya.  Atau, sebagai penghormatan kepada kakek, mereka sengaja tak membukanya agar itu menjadi tanda kenangan mirip prasasti yang mengingatkan orang kepada cinta kedua kakek nenekku itu.

Tiba-tiba aku merasa bersalah. Kenapa aku menjadi lancang. Membuka surat yang bukan teruntuk diriku.  Aku telah menyalahi etika.  Meski pasti tidak ada aturan yang akan mengganjalku hingga aku berusaha membukanya.

Sayang, itu tinggal penyesalan.  Itu tidak akan merubah sejarah. Kertas itu sudah terlanjur berada di depan mataku.  Kertas itu dengan isinya yang hanya kakekku yang boleh tahu, kini di depan mataku yang siap membacanya.  Tentu, aku boleh berbangga karena di usiaku yang banyak kawanku belum bisa membacanya, akupun sudah bisa membaca semua jenis huruf.

Dan huruf ini pastilah huruf sambung, ditulis miring, seperti biasa tulisan para orang tua di jaman Belanda. Beberapa katanya pun tak kukenali sebagai bahasa Indonesia. Pastilah itu bahasa Belanda. Dan pastilah kakek sangat fasih berkomunikasi dengan bahasa asing itu.  Lalu beberapa yang lain kukenali.  Rence anak kita, aku titipkan padamu. Semoga kau bisa menjaganya.  Lalu beberapa bahasa belanda lagi.  Lalu sebuah tulisan yang digaris bawahi: “Untuk itu, aku meninggalkan sejumlah uang yang aku simpan di bank Nedherland of  Indishcee Cellebes.” Jumlahnya tak seberapa, tapi bisa mengongkosi anak kita bila dia ingin terus sekolah nanti.

Detik-detik pada menit itu seolah berhenti.  Nafasku menjadi kencang.  Dan mataku tak berkedip sedikitpun.  Segera teringat aku bulan kemarin ketika aku menjadi juara kelas dan aku meminta janji ayah yang tadinya berniat membelikan ku sepeda bila nanti juara kelas, tapi nyatanya tidak.  “Kita harus hidup hemat,”kata ayah tiba-tiba membatalkan semua impianku tentang asiknya bermain sepeda.

Lalu, kemarin ibu yang asik menghitung-hitung laba penjualan kantin di sekolah.  Ayah yang sekali berjanji bulan depan semuanya tidak akan sesusah sekarang, ia berjanji.  Konon ayah akan mendapatkan sejumlah uang atas usahanya mendirikan koperasi tani bersama kepala desa. Dan aku sempat menguping pembicaraan ayah dan kepada desa tempo hari yang menyebut-nyebut puluhan juta rupiah. “Nanti kita bagi rata.” Begitu suara yang kudengar dari kepala desa waktu itu.  Tentang status keuangan kami, tentu semuanya serba kekurangan.  Masih ingat aku, ketika kredit motor ayahku yang tertunggak dua bulan dan orang dealer honda datang menagih, ayah pun jadi kelabakan. Beruntung, kepala desa yang sahabat ayah itu langsung menanggulanginya. Dan mungkin karena itu, ayah jadi hutang budi kepada kepala desa.

Tapi, semua itu mungkin tak perlu dipikirkan lagi. Semuanya pasti bisa selesai teratasi.  Kami rupanya punya harta karun.  Aku hendak berteriak “hore” sekuat tenaga,  tapi tak ada gunanya. Ayah dan ibu sudah pasti sedang terlelap sekarang.  Baiklah kusimpan kabar baik ini untuk besok pagi. 
Dan sepertinya pagi kali ini agak lambat merambat. Sudah dua kali aku terbangun dari tidur malam, dan dunia masih saja dalam kegelapan malam.  Menunggunya untuk pagi pastilah akan merugikan kesehatan, dan kuputuskan untuk melanjutkan lagi tidur malam menjelang pagi itu.  Lama sekali aku terlelap, dan suara piring ibu di dapur mengagetkan aku bahwa hari sudah siang.

Satu dua jurus, tentu aku segera siap dengan tas sekolah lengkap dengan buku pelajaran, dan kini di meja makan.  Aku mulai teringat kalau tadi menjelang pagi aku pasti sangat lelap dan kemudian bermimpi.  Dalam mimpiku, aku tiba-tiba berada berada di meja makan dan siap tersaji.  Dalam mimpiku, jelas kau melihat sekumpulan tikus-tikus mulai menggerogoti tubuhku.  Mulai dari kaki, tangan, dan kepalaku. Banyak sekali tikus yang menarik-narik tubuhku dan tampak lesat dagingku di mulut tikus-tikus itu. 

Tentu saja aku berteriak, merontah tapi dunia itu cuma ada para tikus. Semakin aku merontah, semakin tikus itu menggeranyangin aku.

Di piring, tersaji tempe, tahu, nasi, dan sayur. Menu siap saji setiap pagi membuat aku tidak berselerah.  Nanti selesai makan, lalu ibu bercerita beberapa saat sebelum bubaran makam pagi.  Yakni semalam ibu pula bermimpi. Dia bermimpi rumah kami di serang tikus-tikus. Sekolompok tikus itu tidak saja datang dari parit-parit kampung, tapi juga ada yang datang dari luar kampung. Anehnya ada pula yang berdasi.  Mereka menyerbu dan merusak mengacak-acak semua isi rumah.

Lebih aneh pula, rumah yang dalam mimpi ibu, bukanlah rumah yang kami tempati kini. Rumah itu begitu bagus, sangat diperlengkapi oleh perabotan mahal, dan taman serta tata ruang yang mewah. Semuanya serba lux.  Dan tentu saja, ibu menjadi sangat betah di rumah itu. Sayangnya pada satu ketika, rumah idaman itu diserbu oleh para gerombolan tikus.  Lalu ibu berhenti dan memandang kami kosong. 
Ibu rupanya masih percaya pada takhayul, kata ayahku.  Lalu ayah melanjutkan. Itu pertanda kita akan menjadi kaya dalam waktu yang sedikit lagi.  Aku juga heran dengan kesimpulan ayah yang sepertinya sangat memastikan akan hal itu. Rumah mewah? Tentu saja itu keinginanku. Tapi tikus itu pasti akan sangat mengganggu pikiranku.  Aku lalu urung memberitahu soal harta karun itu, dan berangkat ke sekolah dengan hati yang tenang.  Biarlah itu menjadi prasasti cinta mereka.