| Home | Profile | Article | Cerpen | Book | Puisi | Picture | Music | Collection | Journal |

 

 

CERPEN :

2003
Lumimu’ut
Oleh: Veldy Umbas 

Bulan merah dipanggang malam. Tak ada bintang dan kerlip cahanya langit  di malam pekat. Tapi malam itu, bulan berpindah ke sebuah genangan mata air yang pelan keluar dari dalam perut bumi. Perempuan itu memandangi bulan di genangan. Di langit tak berbintang, bulan itu sangat perkasa dan menjadi penguasa.

Tapi di genangan air itu, bulan itu menjadi pudar, cahayanya meredup, tak sekemilau sinar aslinya.  Ia memimpikan bulan menjelma menjadi seorang manusia. Manusia yang bisa memberinya keturunan. Siapa entah manusia itu tidak menjadi penting. Gerangan seorang pemberi kehidupan dan keturunan adalah sosok yang dinanti dari sang penguasa. Padahal Karema, seorang penolong sejati, penasihat spiritual manusia, telah mendoakan permintaanya.  Tapi manusia dambaan itu tak juga datang.

Perempuan itu memandangi lagi genangan air yang telah memenjarahkan bulan.  Dalam genangan sinarnya menjadi redup. Ia ingin mandi dari air yang memancarkan sinar bulan. Supaya bulan tak lagi datang mengusik malam-malamnya. Ia sebetulnya menjadi benci dengan bulan.  Hendak dihindarinya bila bulan masih saja mengejeknya dari kejauhan langit sana.  Bulan bilang, “Kau akan menjadi perempuan tua dalam kesepian.” Dan perempuan itu mengecam bulan  itu.
Di  kesendirian malam, ia tiada pernah berhenti memikirkan manusia yang dijanjikan Karema.  Sejak angin barat memporak-porandakan perjalanan mengarungi samudera raya, ia dan pengikutnya yang semuanya perempuan itu telah terdampar di sebuah daratan besar yang tak berpenghuni. Di tanah wangko daratan luas itu, pemilik tubuh sintal itu makin gusar.  Tapi ia menjadi seorang yang sangat rajin. Ia memang belum terbiasa dengan hawa udara di tanahnya yang baru itu.  Tubuhnya sangat berkeringat setiap hari.
Lalu kata Karema kepada dirinya. “Angin barat telah hampir memusnahkan kita. Itu pertanda buruk. Kita harus mengganti nama kita. Dan karena setiap hari kau selalu berkeringat, maka aku berikan nama baru kepadamu. Yakni: “Lumimu’ut.”

Ia, si Lumimu’ut itu  lalu tunduk kepada penasihat spiritualnya itu, yakni, Karema. Seperti nasihat Karema agar ia mempersiapkan diri untuk upacara esok hari. Suatu upacara memohon kepada Tuhan agar ia bisa diberikan seorang manusia yang lain agar kelangsungan manusia di tanah yang baru  ini terus terjadi.
Lalu malam itu menjadilah sangat panjang.  Dedaunan gemericik pada gesekan-gesekan yang dihembus-hembuskan oleh angin.  Mereka seperti tampak sedang bercengkrama dalam romantisnya malam.  Lalu suara kepak sayap menyinggahi telinga Lumimuut.  Seekor burung dengan mata yang menyalah hinggap di pohon yang daun-daunnya sedang bercengkrama itu. Gemerisik daun itu sontak berhenti. Hening menyelimuti malam. Bulan tak ada lagi di genangan air, ia telah terbirit pergi entah mengejar siang.
Tapi malam makin pekat.  Burung dengan matanya itu memberi sinar terang di malam.

Dan menyanyikan lagu yang indah, sangat indah di telinga Lumimu’ut.  “Rondor e lalan, lole en angean, tumaranak se mbaya.” Lagu yang tentu tak akan bisa dinyanyikan oleh burung biasa. Karena lagu itu adalah nuwu, sebagai satu amanat: “Perjalanan yang mulus, tempat tujuan baik, akan berkembang biak.”
Berkembang biak, itu artinya harus ada manusia lain selain perempuan. Tapi tak ada makluk lain itu selain perempuan.  Ia dan para pembantunya. Ia yang telah terhempas oleh angin barat. Ia yang kini  berada di tanah yang luas ini, bersama Karema.
 Lalu esok hari, hatinya berdebar menanti manusia yang dijanjikan dalam lagu burung manguni tadi malam. Ia kini menjanjikan seorang  pria yang sangat didambakannya. Bertahun-tahun telah ia terjerat di kesendiriannya. Bulan begitu culas menghinakannya.
Setiap malam, ia ingin menghapus bulan dengan dirinya saja.
Tentu, dari genangan air itu, ia berharap hadir sosok wajahnya yang memberikan kehidupan baru.
Dan setelah bertahun-tahun pengembaraan jiwanya. Ia tak tahan lagi untuk segera bertemu dengan kekasih jiwanya.  Di tangannya tongkat tawa’ang, yakni tongkat yang selalu digunakan untuk menandai wilayah yang  telah ditaklukan setiap harinya. Sejak ketibaannya di tanah besar ini, sudah ia arungi tanah nan luas sampai pada satu wilayah yang nietakan, yakni wilayah yang sudah dipetak-petak.
Tapi nyanyian burung manguni semalam makin menambah kegalauan di hatinya.  Dan ia telah bersumpah pada tongkat tawa’ang, juga sesuai dengan perintah Karema, bahwa ia hanya akan mencintai pria yang tongkatnya lebih tinggi darinya.  Karena memang seorang pria harus lebih kuat, ia harus bisa mengusahan kehidupan yang lebih baik.
Bukan karena Lumimu’ut tidak bisa hidup sendiri, tapi niat untuk menjadikan kehidupan agar lebih baik sudah terpatri di benaknya, sejak ia diusir dari tanah kelahirannya. Di tanah seberang lautan.
Kegalauan hati si Lumimu’ut hilang ketika burung manguni yang setia menghantar setiap perjalanannya memberikan tanda kepastian itu.  Burung itu memang seorang sahabat yang baik. Tak ada makluk hewan yang sebaik burung itu. Dia senantiasa hadir di malam yang kelam bahkan ketika di hari-hari penuh perenungan.  Karena itu ia adalah seekor burung yang karengkom. Yakni burung yang setia bersama-sama, teman dalam kebersamaan entah itu susah maupun senang.  Dan karengkom itu, tentu tidak main-main soal pria yang akan dinikahinya.
Ia ragu sebenarnya soal sumpahnya atas keberaniannya untuk hanya menerima pria yang tongkatnya lebih panjang dari yang dipunyainya.  Bagaimana kalau tongkat itu lebih pendek, atau sama saja dengan tongkat yang ia punya.  “Bukankah, aku tak punya pilihan lagi soal lelaki? Di negeri yang tidak berpenghuni ini, dapatkah aku memilah-milah mana yang berkenan di hati?” Ia membatin.

“Oh Karengkom.  Engkau bisa menelisik kegalauan hatiku.  Bila nanti pria itu bukan pilihan, dapatkah aku membiarkan diriku tekurung dalam kesendirian? Dan bulan akan selalu mengejekku bila malam nanti tiba.  Kendati bulan dan matahari, pemberi sinar kehidupannya tak juga pernah bersatu. Dan ia akan menghinakan aku yang tak akan pernah bersatu dengan pemberi kehidupan bagi jiwaku yang terperangkap dalam kesendirian.”
Tapi buat apalah bersusah bila kehidupan hanyalah mengapdi kepada pemberi hidup.  Lalu Lumimu’ut sujud menyembah yang berkuasa. Segala yang memberi kehidupan. Bersama Karema, ia kemudian sujud menyembah. Dengan segala persembahannya, dari semua yang telah dianugerahkan oleh pemberi kehidupan, telah dipersembahkan kepada yang maha  kuasa. Yakni kepada Empung Wananatas.
Dan teduhlah hati Lumimu’ut. Ia akan menerima semua kenyataan hidup, bila harus  nanti bertemu dengan seorang siapa saja. Apalah artinya cinta, dambaan harapan, kalau kehidupan harus berhenti. Pada doanya itu, suara burung telah pula memberinya makna. Yakni sebuah tanda tentang kepastian atas ketulusan hatinya. Tanda siulan yang kesembilan kalinya, adalah sebuah siulan yang indah yang oleh Lumimu’ut menyebutnya sebagai pasiyouan atas pengharapannya.

Hatinya kini lapang. Dan semua keakuannya telah dikubur dalam.  Ia toh, tak punya pilihan. Tidak seperti ketika ia dulu di negeri asalnya. Ketika ia mencintai lelaki yang tak pernah direstui oleh ayahnya yang seorang raja. Lalu diam-diam ia pun telah menjalin hubungan yang gelap dengan seorang pria yang adalah prajurit tangguh.
Ia memang menyukai seorang yang berjiwa ksatria. Tapi cintanya kandas, dan ayahnya telah membuangnya, dengan menumpang pada kapal kecil ia memulai petualangan  hidupnya, sampai akhirnya angin barat menghempaskan perahu yang ia tumpangi, hingga terdampar di tanah yang tak berpenghuni ini.
Sesuatu telah terjadi tapi ia tak ingat.  Dalam mimpi ia melihat dirinya telah melahirkan seorang anak dari kekasihnya, tapi anak itu tak juga ia temuinya kini.  Tapi, bukankah ia diusir dari tempat asalnya karena ia telah hamil?
Semua kegundahan  itu, telah ditepisnya, untuk satu kehidupan baru.  Selang waktu berlalu, toh ia tetap cantik, bak seorang putri.  Ia meski pekerja keras, tapi ia tetap mempesona.  Para semua makluk bentina pun menjadi cemburu pada Lumimu’ut setiap kali ia melewati hutan rimbah penuh hewan jantan yang buas. Tapi Lumimu’ut menjinakan mereka di senyumnya.
Tapi, dapatkah ia menjinakan pria yang dijanjikan oleh Karema?
Sampai hari tiba waktu ketika pa’apian, yakni burung manguni yang matanya menyala hingga lingkungan sekitarnya menjadi terang, datang membawa berita: “ Sa keleitum en ta’ar, malerem in dages, tendek en tawa’an, aparen em pa’totowan!”

Yaitu, pesan agar segera melakukan upacara, sementara pohon tawa’ang yang menjadi penanda batas wilayah yang dikuasainya harus ditanam.  Tak berapa lama sesudah upacara itu, tiba-tiba munculah seorang pria yang entah dari arah mana.  Dari kejauhan ia berucap.  “Saya sudah berkelana di seluruh negeri ini, tapi tak kutemukan seorang manusiapun. Bahkan dengan tongkatku ini, tongkat dari tu’is, telah menuntunku kemana saja kakiku suka melangkah, tokh tak jua kujumpa dengan makluk serupa seperti kau ini.”

Pria itu semakin mendekat. Dan  tentu, Lumimu’ut semakin meracau hatinya.  Bagaimana kalau nanti ia bukan  yang terpilih. Lalu siapa gerangan yang nanti lagi akan menemaninya menjalani kehidupannya. Tapi perasaan itu ditepisnya seketika lalu berucap: “Marilah berpondok bersama kami.”

“Tidak. Tidak akan aku bisa berpondok bersama tuan putri. Kecuali bila tongkatku akan lebih panjang dari tongkat tuan putri.” 
Lumimu’ut terperangah. Ia diam dalam kebingungannya.  Pesan yang sama telah pula di sampaikan kepada lelaki itu.  Ia makin ragu. Kebimbangan sangat melingkupi dirinya.  Bagaimana bisa, lelaki itu juga memegang janji yang sama dengan janjiku. Dan, di negeri tak berpenduduk itu, bagaimana bisa ada makhluk lain kecuali dia dan pembantunya yang semua perempuan.
Tapi ia teringat mimpinya. Ia melihat bayi lelaki yang telah dilahirkannya sebelum satu malapetaka datang.  Tapi bagaimana mungkin?
Pria itu memandangnya penuh pesona.  Ada kerinduan yang sangat dalam hatinya.

Ia lalu sadar bahwa sesuatu yang istimewa telah terjadi.  Lalu ia bertanya: “Tapi anda memiliki bahasa yang sama dengan kami.  Tuan dari manakah asalnya?”

“Saya dari negeri seberang. Angin barat telah menghempaskan perahu kami, hingga kami terdampar di pulau ini.”  Para pembantunya pun takjub dan merasa yakin kalau mereka berdua adalah sangasuru. Yakni, berasal dari satu keturunan yang sama. Satu ibu. Atau satu keturunan.  Entahlah.
Pria itu bercerita tentang cerita temurun yang ia ketahui bahwa keluarganya diusir dari kerajaan kerena telah berbuat aib bagi kerajaan itu. Dan tentu, angin baratlah yang membuat ia terdampar di negeri tak berpenghuni ini.
Setelah Lumimuut mendengar asal-usul tamunya itu, ia lalu mencocokan kedua tongkat yang mereka miliki.  Dengan hati berdebar penuh ragu, Lumimuut memegang tongkatnya di tangan kiri, dan tongkat tamunya di tangan kanan.  Dalam hatinya ia berdoa, semoga Tuhan tak menjauhkan impiannya untuk mencintai seseorang dari dalam hidupnya.
Para pembantunya berdiri tegang terpaku menatap kedua tangan tuan putri yang kini memegang dua tongkat  itu.
Matanya lalu menatap pria itu. Tak ada keraguan sedikitpun di matanya. Seolah lelaki gagah ini terlalu yakin dengan dirinya. Atau ia tidak mendambakan seorang pendamping dalam hidupnya?
Tampak memang semangat kemandirian dalam dirinya. Ia begitu tegar. Badannya kekar, pastilah para singa, harimau, dan serigala hutan takut mencegatnya bila ia sedang berjalan. “Dan kepadanyalah aku akan memberikan kehidupanku untuk nanti menjadi penduduk negeri ini,”ia berguman dalam hati. 
Kedua tangannya masih terangkat. Dia sedari tadi menahan nafas. Matanya kini terpejam.  Langit siang oleh Matahari yang seksama menunggu kehidupan di mulai di negeri itu.  Kalau saja bulan hadir saat itu, perempuan itu ingin agar bulan malu dan tahu diri karena telah menjadi penyendiri.
Detik itu tak berputar. Semua terhenti. Bumi diam pada rotasinya, sementara matahari tak berkedip sedikitpun. Suasana menjadi sangat hening, hingga hanya suara detak jantung Lumimu’ut yang berbunyi. Tubuhnya basah oleh keringat dingin.  Dan tiba-tiba dengan penuh yakin, ia merapatkan kedua tangannya menjadi satu, bersama dengan menyatunya dua tongkat; Tu’is dan Tawa’ang.
Tawa’ang ternyata lebih panjang dari Tu’is. Dan artinya, lelaki itu boleh singgah dan berrumah bersama dengan Lumimu’ut.  Satu penantian yang panjang bagi Lumimu’ut.
Dia kini boleh berbangga. Dan kebanggaannya harus dibayar oleh penantian yang panjang, perjalanan yang melelahkan yang menuntunnya ke tempat Pinontakan, hingga ia bertemu dengan lelaki misterius yang tampaknya berasal dari satu sangasuru (satu keturunan).  Maka, lelakinya itu dipanggilnya To’ar. Artinya, “yang sangat bernilai.”

Semenjak itu, ia tidak lagi menunggui malam, dan bulan makin saja cemburu padanya.
Sampai pada satu ketika di malam sunyi, ketika bulan di sebelah timur cahanya jatuh di bukit sebuah gunung yang tak jauh dari pemukiman mereka.  Bukit  itu bermandikan cahaya bulan dengan warna yang keemasan. Perempuan itu lalu menyebut bukit itu  Lolombulan, yang artinya bermandikan cahaya emas. Lolombulan telah pula menandai Lumimu’ut yang melahirkan sembilan orang anak kembar.

Keluarga mereka sangat diberkati.  Seperti keluarga Lumimu’ut-Toar  yang diberkati, memiliki sembilan orang anak yang juga memperanakan sembilan orang anak yang di sebut makarua siou (dua kali sembilan).  Dari merekalah lahir para leluhur orang Tountumuwu, yang dikemudian hari disebut Minahasa.

Grogol, 19 November 2002