Jurnal Minahasa
HOME

Menyongsong Mega City Minahasa

Oleh : Joppie Worek

MINAHASA Kidung gereja Jangan Kamu Takut atau Iring Dikau Saja Tuhan dinyanyikan perempuan-perempuan Minahasa asal Modoinding,
Tompasobaru dan Motoling. Dalam kegelapan malam di sela tebing dan jurang mereka menyanyi dengan ekspresi penuh penyerahan diri dan  harap pada Sang Khalid. Itu dilakukan spontan tanpa komando pendeta atau pastor.
    Sementara itu kendaraan yang mereka tumpangi jenis cabes-catrek (bukan bus bukan truk, kendaraan truk yang bagian depannya dimodifikasi seperti bus) yang sarat muatan dan penumpang, merayap atau meluncur pelan dengan amat hati-hati di cela jurang dan tebing membelah kegelapan malam.
    Itulah salah satu realitas petualangan orang-orang Minahasa di paruh Selatan Minahasa era 1960 hingga 1970-an. Dengan semangat Jangan Kamu Takut dan Iring Dikau Saja Tuhan itulah mereka menyambung hidup, menembus tirai isolasi, memburu peradaban, menabur cita dan citranya. Kota Manado adalah tujuan awal mereka, Kota Manado adalah Gapura Masa Depan mereka.
    Mereka tidak hanya benar, tetapi mereka adalah orang tua yang hebat dalam menyiasati hidup. Terbukti, kini anak cucu mereka tidak hanya mampu menaklukan kota tetapi juga benua. Bahkan kini banyak diantara anak-anak Minahasa yang berambisi menaklukan dunia. Orang muda Minahasa kini tidak lagi melihat dan menggarap kebun di tanah Minahasa. Kini mereka sudah
punya kebun yang maha luas, Kebun Global.
    Kebun kesejahteraan di Minahasa kini sudah tidak lagi memberi keseimbangan produksi dan konsumsi. Sudah 30 tahun terakhir ini petani kopra dan cengkeh meronta tentang harga yang rendah. Orang tua di
kampung-kampung  tidak lagi bisa bikin acara pembagian budel menjelang akhir hayatnya sebab tanah untuk diariskan memang sudah tidak cukup untuk
dibagikan. Orang tua Minahasa kini cuma bisa mewarisakan kata-kata bijak  pada anak-anaknya. So nyanda ada tanah warisan atau budel, skolah bae-bae kong jadi orang bae-bae, seperti itulah pesan orang tua Minahasa pada anak-anak mereka masa kini.

    LANTAS, jika kebun di Minahasa sudah tidak cukup menjanjikan kesejahteraan hidup yang memadai karena memang tidak pernah bertambah seiring dengan pertambahan penduduk di atas tanah Minahasa; muncul
pertanyaan : Mau kita apakan Tanah Minahasa? Seperti apakah kecintaan kita pada tanah Minahasa nanti?
    Coba lihat, kini Minahasa sedang membentuk sebuah Mega City. Bitung-Manado so tasambung menjadi satu dan membentuk kesatuan urban yang berimplikasi sosiologis. Manado, Tomohon, Tondano, Kawangkoan, Langowan juga so baku sambung dan bersama membangun kultur urban. Perkampungan antara Kawangkoaan, Tumpaan, Amurang, Tenga, Poigar, Motoling, Tompasobaru, dan Modoinding juga secara nyata telah menunjukan kecendrungan penyatuan. Lahan-lahan perkebunan antar  perkampungan
kini sudah mulai dialihfungsikan menjadi lahan pemukiman.
    Dari kecendrungan itu kita bisa memprediksi tahun 2015-2020, Minahasa akan membentuk sebuah Mega City. Tidak peduli Minahasa mau jadi berapa kabupaten, atau mau jadi provinsi atau mau jadi wilayah teritorial macam bagaimana; kita harus cepat memastikan bahwa Minahasa sedang membentuk sebuah kota raksasa.
    Dalam kasat mata kita bisa melihat setidaknya ada dua faktor yang kini mempercepat proses munculnya Mega City Minahasa itu. Pertama, daya serap (daya pikat) urban Minahasa sangat menonjol dalam dua dasawarsa
terakhir. Pendatang dari wilayah-wilayah sekitar, Gorontalo, Sangir Talaud, Bolaang Mongondow, Maluku/Maluku Utara, dan Papua, bahkan Makassar dan Pulau Jawa kini hampir mencapai angka 30 persen dari total penduduk di Tanah Minahasa. Kedua, tingginya kesadaraan orang Minahasa pada panggilan peradaban sehingga harus melangkah pergi ke negeri seberang.
Kini ada sekitar 300.000 generasi muda Minahasa pergi ke negeri seberang (dalam maupun luar negeri). 
    Persoalannya, apakah Mega City Minahasa yang sedang membentuk itu akan menjadi berkat atau malah mungkin kutuk dikemudian hari. Atau mungkin cuma akan menjadi sebuah Monumen  Minahasa. 
    Kita, generasi kini, memang tidak perlu -karena memang tidak mungkin- membendung proses terjadinya Mega City Minahasa, tetapi kita bisa berupaya agar Mega City Minahasa sebuah berkat.
    Kita bisa yakin bahwa semangat petualangan hidup Jangan Kamu Takut dan Iring Dikau Saja Tuhan yang pernah ditunjukan perempuan-perempuan Minahasa di era 1960-1970 tak akan pernah usang dan tetap berlaku
untuk petualangan kita saat ini.
    Ada banyak cara agar Mega City Minahasa itu tetap menjadi tanah perjanjian atau Kanaan di Pasifik, salah satu yang sangat sederhana adalah membangun tradisi lama Tanah Minahasa adalah kampung halaman,
dan alam global adalah kebun kesejahteraan. 
    Cendekiawan Minahasa Jano Bolang (almarhum) pernah bilang : Sabua (pondok) merupakan simbol kesejahteraan orang Minahasa yang dipenuhi hasil produksi pertanian. Hasil-hasil pertanian itu setiap akhir pekan akan
dibawa pulang ke kampung menjadi persembahan pada keluarga, lingkungan sosial dan kepada Tuhan Pencipta. Kini sabua itu sudah tersebar di kebun-kebun global, tetapi kampung  itu tetap bernama Minahasa.
    Kampung halaman kita itu memang harus tetap menjadi Kanaan yang penuh susu dan madu. Tetapi kita percaya susu dan madu itu tidak lagi harus diproduksi dari kebun Minahasa tetapi berasal dari kebun global. Maka
Mega City Minahasa akan menjadi kota yang semarak berlimpah berkat. Kota Kesaksian.