/kategory informasi------------------------------------veldy>
Wacana
archives
forum
opinion
in-depth
/kategori budaya dan sastra------------------------------------veldy>
Komunitas
Sosial
Sejarah
Agama
Tradisi
Other
/kategori budaya dan sastra------------------------------------veldy>
Sastra:
Puisi/syair
Novel
Grap-grap
Script
References:
Sosial
Politik
Ekonomi
Budaya
Sejarah
Filsafat
Agama
Sastra
IPTEK
Internet
|
/end kategori--------------------------------------------------veldy>
|
/batang tubuh-------------------------------------------------veldy>
|
Ekplorasi ide-pemikiran Tou Minahasa dan keminahasaan kirim ke: nuwu@sulutlink.com
Minahasa adalah sel-sel global, fakta yang tak bisa ditampik.
Ini tak sekadar cerita tapi berjalan atas tilikan sejarah dan
representasi amanat 'roh' the founding fathers minahasa...
|
|
/-------------------------------------kontent headline di sini------------------>
ARTIKEL:
Maret 2003
Renungan Kultural Tou Minahasa
Oleh : Veldy Umbas
Mendesak dan segera! Kiranya tidak ada lagi kata lain yang lebih tetap untuk menjawab
tantangan mutakhir kehidupan sosial di era transisional ini. Perubahan cepat
sedang terjadi di mana-mana. Abad di mana Tofler menyebut gelombang ketiga,
sementara Fukuyama meyakini sebagai kemenangan kapitalisme atas semua
pertarungan isme-isme, adalah abad di mana generasi kita menentukan masa
depan.
Bagaimana dan seperti apa kita dua
atau tiga dasawarsa kedepan, sangat dan akan bergantung pada apa yang kita
bahas, kaji, analisa, dan perbuat hari ini. Realitas ini didasari pada
fakta empiris perubahan cepat yang tak terprediksikan sebelumnya. Semuanya
ini memiliki dampak influatif yang begitu dasyat, hingga terkadang kita
salah dalam mengidentifikasi sekaligus menempatkan diri dalam gelombang
transisional yang begitu cepat ini. Gejala global tak dapat dihindari lagi.
Hingga kita sebetulnya sedang mengikuti irama permainan dan pertarungan
global, “dalam perebutan pasar”, sehingga sejumlah isu yang menjadi ikon
kulturalisasi sengaja diciptakan untuk menjadi “kiblat” loyalitas global.
Semua pertalian ini tentu akan
tetap mengikat semua perspektif dan konsep lokal setiap umat manusia. Hingga,
tak berlebihan kalau Ohmae mengkuatirkan tentang terjadinya penghancuran
tembok-tembok “nasionalism” yang berbuntut pada “kehancuran
negara-bangsa.”
Gejala ini sudah tampak dan memang sudah sedang terjadi, hilangnya semangat
nasionalisme bangsa ini, karena tiga hal pokok. Pertama, sukses kampanye
global untuk penciptakan loyalisme global. Kedua, hancurnya semangat
kebersamaan “Sumpah Pemuda” yang diporak-porandakan oleh bangkitnya
radikalisme suku, agama dan ideologi. Ketiga, kaburnya visi negara
kesatuan yang disemen dengan semangat UUD 45 sebagai common platform
bangsa Indonesia.
Dalam kondisi yang seperti ini, sangatlah jelas kita sedang dalam generasi
yang mengerikan—apa jaminannya kita masih percaya kepada Republik Indonesia
yang sedang acak-acakan sekarang.
Dalam konteks; menguatnya radikalisme suku bangsa—Aceh Merdeka, Papua
Merdeka, dominasi kesukuan. Radikalisme agama—semakin membulatnya tekad
menjadikan Indonesia negara sektarian. Belum lagi persoalan kedaerahan yang
semakin salah dan bingung menginterpretasikan otonomi daerah. Semuanya ini
adalah kegelisahan-kegelisahan kita yang seharusnya kita bahas, kaji, dan
sosialisasikan demi tegaknya civil society yang memiliki common
platform yang ideal dalam konteks Indonesia.
Lebih-lebih lagi, rumitnya struktur sosial bangsa ini, dengan multi etnik
dan agama, jelas membutuhkan keterlibatan sumbangan pemikiran dari semua
keterwakilan itu. Sulut misalnya; Untuk sekian dekade terakhir, komunitas
ini menjadi kurang jelas sumbangan ide dan konsep dalam konteks keindonesian.
Atau paling tidak sekedar untuk ekslusive immune Tapi oleh siapa?
Atau barangkali pertanyaan ini
justru menjadi autokritik bagi kita atas kenyataan sakit sosial akut yang
kini mewabah di Sulut.
Pertanyaan ini, pun seiring dengan amburadulnya Indonesia, seolah telah
mengkelabukan langit Sulawesi dengan awan hitam pekat Indonesia yang suram.
Segala komponen terserap pada infeksi menular penyakit ingin berkuasa dan
menikmati fasilitas kekuasaan. Seperti dalam fenomena demokrasi yang
terjangkiti penyakit kleptomania dan money politic. Barangkali, seberkas
sinar dari pertanyaan yang sangat elementer ini adalah, kesadaran kultural.
Adalah suatu keadaan di mana, rakyat dan segenap bagian dari bangsa ini
kembali insaf atas kelumpuhan kultur hingga pijakan untuk mengusung
masyarakat sipil yang sehat menjadi sangat rapuh.
Sehingga pertanyaannya; Pertama, bukankah kita hanya dipertemukan dalam
satu aras yang sama, kultur? Budaya, yang dalamnya ada satu konvensi batin
atar individu-individu yang bersepakat untuk membentuk satu masyarakat yang
sejahtera di bawah payung pemerintahan yang bersih.
Kedua, bukankah ketika perangkat legal formal, dengan berbagai perlengkapan
penguasa mengalami benturan dasyat ketika penegakan hukum demi masyarakat
sipil lantaran kaburnya konvensi sosial atas tatanan masyarakat yang beradab?
Ketiga, bukankah kita masih
memiliki nurani untuk kemudian malu dihadapan tata dan etika sosial atas
hasil kreasi kultur yang mengikat hingga untuk itulah kita tidak ingin kita
disebut orang yang tidak beradab.
Dan memang pertanyaan yang lebih
mendasar yang mendahuluinya adalah yang manakah budaya kita? Seolah telah
membantah dan mementahkan semua perenungan kultural yang penulis yakin
seharusnya menjadi lilin kecil di tengah kegelapan pekat suatu masyarakat
yang telah dibutahkan oleh kronisnya pembodohan kultural. Sehingga
persoalannya kemudian adalah bagaimana kita dapat mendekonstruksi suatu
konvensi sosial rakyat di daerah ini dalam suatu tata laksana sosial yang
seharusnya membentengi diri dari nilai-nilai desktruktif budaya
masyarakatnya sendiri.
Yang pada akhirnya, penulis merasa
sangat yakin atas kesadaran kultural yang gamang, telah menghilangkan jati
diri rakyatnya sendiri, hingga tanpa basis kultural ini membuat masyarakat
berada di gerbong-gerbong yang ditarik oleh lokomotif yang relnya menuju
pada “kebodohan”. Kebodohan yang penulis maksudkan adalah ngawurnya
penyikapan kita terhadap persoalan-persoalan sosial seperti makna demokrasi,
dan reformasi. Kebingungan-kebingungan yang angkuh dalam pendirian terhadap
pilihan hati nurani berdemokrasi (baca: berpartai) sehingga tingkat
irasionalitas lebih menonjol dari pada meneliti, mencermati dan menghayati
makna berdemokrasi itu sendiri.
Masyarakat kita menjadi semakin kurang kritis, bahkan cenderung apatis
terhadap partisipasi politik hanya karena cara memandang politik itu saja
yang mungkin keliru. Sehingga korelasi antara partisipasi politik (sebagai
indikasi masih memiliki sense of crisis) dan budaya menjadi saling bertaut.
Karena kemudian, sintesa sosial atas keadaan apatisme ini akan menjadi
budaya baru bagi masyarakat kita, sebagai konvensi tak kentara individu per
individu dalam suatu komunitas tertentu. Tentu inilah yang dilihat oleh mata
telanjang penulis dalam tata sosial masyarakat Minahasa yang kian melempen,
rendahnya sense of crisis, dan cenderung apatis melihat fenomena sosial.
Sehingga, perenungan kultural yang mendesak adalah membongkar kembali
tatanan sosial masyarakat kita dengan mereduksi seminimal mungkin pola dan
etika sosial yang sudah terjangkit oleh infasi budaya luar.
|