CERPEN
:
Desember 2002
Saya memanggilnya Om Bert
Oleh: Veldy Umbas
Di
tengah malam buta, seorang yang tak dikenalnya menggedor pintu rumahnya.
Suasana revolusi yang sarat dengan kejadian tragis memaksanya untuk
mengarahkan pistolnya ke arah pintu. Dan sekali lagi ia bertanya, “Siapa di
luar?”
”Saya, pengawal dari Paitua,”kata orang yang dari tadi menggedor-gedor pintu
rumahnya. Walau telah menyebut kata, “Paitua,” adalah kata yang mereka
maksudkan untuk menyebut Sam Ratulangi, tapi ia tetap saja meragu. Sekali
lagi ia tanyakan, “Siapa di luar?”
“Saya,
Janz Tumiwa...” Meski ia agak curiga, tapi tetap pula dibukanya pintu rumah,
dengan pistol yang terisi siap diledakan mengarah ke pintu.
Pria tengah malam itu lalu masuk ke rumahnya dengan tangan terangkat. Ia
adalah pengawal pribadi Dr Sam Ratulangi. Dan yakinlah ia bahwa lelaki itu
bukan mata-mata musuh.
”Anda dipanggil Paitua,”begitu pesan pengawal Tumiwa. Malam begitu mencekam.
Tak ada tanda-tanda kehidupan pada malam itu. Jakarta bagai kota mati, dan
dua orang dengan sepeda menembus pekatnya malam. Tak berapa lama, mereka pun
tiba di rumah “paitua.”
Pertemuan rahasia malam itu adalah untuk membahas demonstrasi besar-besaran
yang direncanakan dilangsungkan besok pagi, bersama dengan pembahasan nasib
bangsa Indonesia dengan pihak United Nation. Situasi makin tidak karuan
saja, karena NICA masih berkeliaran, walau tampak pasukan Australia
berjaga-jaga di sentra-sentra pelayanan publik.
”Bert, apa rencanamu besok,”kata Paitua Sam.
”Siap pak. Saya akan melakukan penjagaan dan pengawalan ketat kepada Bung
Sam.”
Begitu, Bert muda yang masih berusia 20an meyakinkan paitua Sam.
Sebagaimana rencana demonstrasi besar-besaran besok, paitua Sam akan berada
di front depan dengan memberikan orasi-orasi yang menuntut kedaulatan
Indonesia.
Tentu, paitua Sam penasaran apa rencana Bert. Dengan modal semangat
patriotis jiwa mudanya, spontan lelaki kelahiran 29 September 1924 itu
berujar.
”Nyawa saya taruhannya. Langkahi dulu mayat saya.”
”Bodoh...!” Sam Ratulangi menghardik marah. Ia tampak sangat marah. Dan,
tentu ini menjadi pelajaran berharga bagi Bert. Ia lalu kemudian menyadari
bahwa komunitas Minahasa di Jawa sangatlah sedikit. Paitua Sam memaksudkan
agar dengan jumlahnya yang sedikit itu, untuk tidak gegabah. Memang
benarlah adanya. Pada tahun-tahun selanjutnya Ia kemudian menjadi pengawal
keamanan Sam Ratulangi yang menduduki jabatan Gubernur Sulawesi di Makasar.
***
Di rumah saudaranya, tak ada orang lain. Hanya ia dan anaknya laki-laki
bersama seorang cucu yang masih berusia kira-kira 6 tahun, yang setiap
harinya berkumpul dan bergumul dengan kehidupan. Ia masih berpikir. Pula
masih saja merenung. Akhir-akhir ini, perenungannya makin gelisa saja.
Seperti hari itu, ia makin begitu galau. Sudah hampir dua jam hujan
mengguyur bumi, dan jelas dari samping jendela kamarnya, ia dengan leluasa
mengintip kehidupan di luar. Ada saja yang ia harapkan dari sekedar ayam
yang melewat di luar rumahnya. Dan ia pun ingat ketika ia dulu pernah
menjadi Kepala Pemerintahan Residensi Tondano dan Manado. Setiap
perkunjungannya, selalu mereka menyuguhkan makanan-makanan yang enak. Mulai
dari lauk ayam sampai daging-daging makanan khas Minahasa.
Tapi
hujan masih saja menguyur bumi, dan membuat hati yang penuh kehendak itu
harus mengurung niat untuk hari ini. Pada hari-hari biasa, ia sering berada
di Pulo Mas, tempat di mana ia biasa melewatkan sisa hari tuanya dengan
menjadi inspektur perlombaan balapan di pacuan kuda Pulo Mas.
Atau, sesekali ia terlibat diskusi serius di jalan Bekasi Timur, tepatnya di
kantor bekas komandannya jaman Revolusi, Ventje Sumual. Di sana, sering ia
berdebat dengan para generasi muda tentang berbagai wacana klasik maupun
kontemporer. Pernah sekali ia berdebat keras tentang dialektika Hegel. Ia
sebetulnya lebih setuju dengan bentuk antitesis yang tanpa kompromi. Namun
tetap saja, Hegel punya penalarannya sendiri.
Di meja kerjanya yang sangat sederhana, tepat bersebelahan dengan tempat
tidurnya, tersusun buku-buku klasik. Satu yang nampak sedang terbuka,
adalah perspektif Frederik Angels tentang materialistik historis.
Ia sangat sadar bahwa, nilai kultural tou Minahasa yang dicirikan dalam
kebebasan, sangatlah mendorong impuls-impuls materialistik itu. Ia
memberikan catatan penting tentang pentingnya semangat kemandirian Tou
Minahasa dalam konsepsi sumerar(diaspora) agar ia kuat dan perkasa.
Seperkasa para petarung Perang Tondano, yang telah digambarkannya dalam
bukunya tentang sejarah perang Tondano.
Bagaimanapun, ia masih sangat yakin kalau Minahasa tidaklah seperti yang
banyak orang kuatirkan secara berlebihan atas kehilangan jati diri.
Menelisik, buku Minahasa (Dari Amanat Watu Pinabetengan Sampai Gelora
Minawanua), ia hendak menggambarkan bahwa teritorial Minahasa bukanlah
sekedar wilayah tanah yang diapar(dikuasai dengan memberi
batas-batas, biasanya dari tawaang) di Minahasa, tapi juga nilai-nilai
universalnya. Tou Minahasa ia gambarkan dalam geneologi akan terus
hidup di manapun ia berada. Kebebasan, kemandirian, kebersamaan, merupakan
tiga ciri pokok yang ia sebut sebagai sifat genetis Tou Minahasa yang tidak
akan hilang di manapun ia terdampar.
***
Sebagai
manusia, ia tentu pernah marah. Kemarahan yang paling besar adalah ketika ia
berselisi paham dalam dinas kemiliterannya. Surat kenaikan pangkatnya ia
sobek hingga berkeping-keping, dan ia pun secara gentlemen meminta
pengunduran dirinya. Meski komisi penyelidik yang dibentuk untuk
menyelidikinya tidak menemukan alasan pengunduran dirinya, tetap saja ia
bersikeras. Mundur.
Apakah ia benar-benar berhenti mengabdi?
Di sini,
kita harus bisa membedakan dua kata ini. Bekerja atau mengabdi. Banyak yang
melakukannya untuk keuntungan materialistik. Tak jarang para pejabat
sekarang dan bahkan dulupun, tampak begitu tinggi dedikasinya, walaupun
sebenarnya jelas motifnya adalah keuntungan materialistik. Tapi lihat ia. Di
usia senjanya ia sebatang kara, dan hidup berpindah-pindah demi melanjutkan
sisa usianya. Siapakah yang lebih berjasa di antara para penerima bintang
anugerah ataupun berbagai gelar adat seperti Tonaas Wangko dan sebagainya,
dan telah berbuat sesuatu yang sangat mendasar bagi komunitas Minahasa?
Dedikasi dan integritasnya sudah teruji. Sebuah karya masterpiece demi
memetakan persoalan kultural bangsa Minahasa telah dibuatnya. Ia mendalami
tulisan-tulisan Schwarz, Riedel, Ratulangie, Wilken, Waworuntu, L Mangindaan,
Graafland, Bertling, dll. Semua ia lakukan karena ia cinta Minahasa.
Sangat begitu mencitai ia. Sehingga, nyaris tidak mencintai dirinya sendiri.
Ia bagai mercusuar di malam hari, demi memberikan petunjuk kepada
keselamatan kapal-kapal agar jangan karam, walaupun ia tetap saja terkurung
dalam kesendiriannya bertahun-tahun. Toh itu tidak membuatnya berhenti
berkarya. Berbagai paper selalu ia hasilkan. Sayang, jaman sudah berubah
dan perhatian generasi pun nyaris melupakannya.
Tapi sekali lagi, ia masih saja berkomitmen kuat. Sehingga, siang itu pena
ditangannya terus saja bergerak-gerak menulisi kertas putih di atas meja
yang lamat-lamat menjadi baris-baris tinta yang bersusun kata, paragraf,
kalimat, menjadi draf paper.
Baru saja hujan yang mengguyur bumi, dan mengecutkan hati para penglana,
mereda. Ia berucap lirih. “Semoga ada yang masih ingin membaca
tulisan tentang budaya Minahasa.”