CERPEN
:
2003
Embun yang Membunuh
Oleh: Veldy Umbas
Pelan dan hampir tak bergerak. Dua kaki itu merapat, sampai si pemilik tahu tak ada celah angin sedikitpun yang menembus tipisnya kulit bersih sekemilau ketela pohon itu. Embun mungkin akan terus merayu dan mengatakan kalau basahnya kaki sang putri pertanda kesejukan menyertai perjalanannya sampai seorang pria perkasa datang sujud untuk kemudian cemburu pada embun yang telah lebih dulu mengecup kaki sang putri. Karena betapapun air hujan menerjang, badai mendera, embun akan terus hadir dalam kelembutan pada pagi yang risih.
Seperti semalaman, bulan lamat-lamat menyelinap pada kabut bersama dengan mencairnya kesadaran menjadi partikel-partikel kecil yang terserap naik ke langit saat kabut dan asap tukang sate pada larutnya malam, mengepul. Dan ketika dedaunan saat subuh mulai basah oleh embun pagi, partikel-partikel kesadaran itu kembali menyatu di benak manusia bumi yang terjaga di pagi hari.
Ia sudah bangun sebelum embun menyentuh kaki putri. Di sela bulan yang berpendar, merapat pada lorong-lorong gang belakang rumah, sampai pada sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dengan kumpulan gubuk sebelah dusun, pada nafas yang tersenggal-senggal, sebelum merah merekah pertanda pagi.
Ia sudah
di sana, saat putri duduk-duduk di depan gubuknya. Dan Putri akan selalu di
situ sebelum merah merekah pertanda pagi. Perjaka itu menebar senyum
lebarnya. Putri pada tatapannya yang serba hampa. Tak seorangpun mengerti
dua tatapan itu, kecuali sebuah pemakluman; Perjaka berniat tulus pada putri
yang pupus harapannya.
Sudah sekian tahun, penduduk desa itu mafum tentang Putri tak punya harapan.
Pria dambaannya berpulang saat keduanya hendak naik ke pelaminan. Dan,
Putri tak kuasa menahan pangeran dari utara, saat surat dinas komandan kompi
memintanya untuk berangkat berperang di Ujung Barat.
Hanya berita yang ia terima, dua minggu setelah keberangkatan sang kekasih yang akhirnya membuatnya tak mau melihat matahari pagi, hingga putri mengerang rasa bersalah.
Lalu si perjaka. Ia hanya laki-laki kampung seberang yang tulus niatnya. Putri, bagaimanapun seorang gadis cantik yang tak harusnya bertapa pantang menatap surya.
Tak
cukup dingin malam dan embun subuh menjadi nyanyian nestapa putri di setiap
malam-malam kelamnya.
Ada harapan di lebar senyum yang menyala si perjaka. Tapi, dingin beku
mengguyur kobar hati sang perjaka. Sudah seminggu ia menunggui putri
melewati subuh, dan bila bulan redup, pertanda siang datang, sang Putri
sudah tertidur di kamar dinding yang celanya dikatup rapat lembar-lembar
koran usang.
Kali ini ia terlambat barang sederajad rotasi bumi. Perjaka merapat pada renggang dinding pintu gubuk, lalu mendapati Putri sudah pulas di alam tidurnya. Ia sangat menikmati pemandangan itu. Bahkan ketika semua saraf sadarnya mengusik nuraninya, ia hendak memperkosa putri yang terbaring dibalut kain setengah jadi.
Butir-butir peluh telah membasahi tubuh kekarnya saat dirinya berperang melawan serbuan stilmulan neurotis “keperkasaan.”
Sebegitu ia berhasil menguasai diri, ia pun kembali pulang seperti hari-hari sebelumnya. Hanya saja, perjaka kian kehilangan kesabaran. Sepulangnya itu, ia jadi suka mengumpat. Piring, gelas, dan terkadang dinding rumahnya menjadi sasaran empuk bila tak bisa ia menguasai diri.
Sudah dua minggu ia benar-benar tak berkunjung ke pondok putri, menyaksikan putri dalam kehampaan karsa, di setiap tatapan kosongnya. Ia bahkan sudah kian malu saja. Orang-orang kampung mulai menjulukinya pahlawan subuh-subuh. Sebagian berbisik-bisik bila ia melewat di warung-warung mie, lalu muncul pula kekeh yang tercekik bila banyangannya mulai lenyap dari pandangan mereka.
Tentang isu miring yang beredar bahwa, perjaka sudah kena santet si putri, makin santer saja berkibar di telinga orang kampung.
Lalu
putri? Ia tetap saja menekur di subuh bersama embun yang tak pernah bosan
menjilati kaki-kakinya yang tak pernah kena sinar yang terpancar dari bola
panas melingkar langit.
Perjaka geram melihat embun! Tapi ia adalah makluk yang bukan liquit. Ia
cemburu melihat embun yang selalu hinggap di kaki putri, pun gemulai tangan
putri menyentuh embun pada bunga-bunga mekar di pondokan putri.
Ia kini benar-benar makin tersiksa. Putri semakin kurus, ia nampak tak sehat. Mungkin saja kalau ia memeriksakan diri ke dokter, hasil diagnosisnya adalah komplikasi bronchitis dan sinuchitis.
Putri kini gemar berbatuk-batuk dahak sampai lama.
Ia tak bisa lagi mencuci baju pada malam hari. Atau mandi di bawah sinar rembulan yang redup dan malu-malu.
Lalu semakin santer pula isu bahwa Perjaka sudah tinggal serumah dengan putri. Hanya karena perjaka tak sampai hati meninggalkan putri yang sakit-sakitan mati tanpa ada orang yang menunggui tubuh rentanya.
Apa boleh buat, perjaka kini meminang seorang penyakitan. Sebagai tapak-tapakan hidup yang tak boleh ia lewatkan. Menjerembabkan diri dalam kenyataan hikmah cinta: Mencintai tanpa harus dicintai. Itu takdir, katanya mengumpat hampa makna.
Sampai, ketikapun
terdengar kabar bahwa putri tidak tampak lagi lantaran hamil oleh ulah
perjaka, ia masih saja sibuk dengan urusan cintanya yang kepalang
pangling.
Embun tentu mengejeknya karena jiwanya terperangkap cinta. Paling tidak,
gas-gas oksigen yang terperangkap di suatu kutub, diterpa badai, hinggap
di pepohonan, lalu kembali mengapung di angkasa itu telah terbebas
menjadi air hujan.
Putri ditemukan terkulai kehabisan darah. Bayinya tak sempat menghirup
oksigen ketika menyembul ke muka bumi. Dan Perjaka pun terperangkap
kepahitan segala jaman.