ARTIKEL :
October
20, 2002
Menjadi Minahasa
By: Veldy Umbas
Kata yang merupakan
representasi identitas suatu bangsa itu, kini kian gamang bahkan cenderung
mitos nampak menjadi impor, setelah pemiliknya sendiri kehilangan alamat
yang tepat untuk menuju dan merujuk "Minahasa" sebagai komunitas dan kultur
yang memiliki sumber social capital bagi pengambangan masyarakatnya
yang terus berwacana.
Kenapa impor? Sebuah ironi untuk ditempatkan pada area abu-abu tentu setelah
kita sendiri merasa jauh, asing dan tidak kenal lagi dengan kata yang
dimaksud seperti perasaan yang tidak Minahasa di tanah yang Minahasa.
Sebaliknya perasaan to be minahasa itu lebih bermakna ketika Tounya itu
berada di luar Minahasa. Di sini otokritik lebih gampang dan hampir tak
punya barrier untuk menakar nilai-nilai keminahasaan yang tentu berdasar
pada pertimbangan dan assesment yang bisa jadi bias dan subjektif. Tak heran
bila surat internet di milis-milis yang bertema Minahasa maupun kawanua
lebih didominasi oleh tou perantauan yang tampak gelisa dengan kenyataan dan
keadaan yang kian surut mereduce nilai-nilai keminahasaan bangsanya
sendiri.. Semua prihatin dan korektif atas kenyataan Minahasa kini.
Sayangnya variabel komparasinya tidak otentik dan memang bias karena budaya
dan lingkungan yang mempengaruhi pengambilan kesimpulan tidak selalu bersih
dalam frame ojektifitas komparasi. Semisal, kita pun tidak jujur
mengikutsertakan proses pembudayaan akibat dari penguatan budaya lain yang
central, strategis, di dukung oleh struktur dan infrastruktur. Atau malah,
dalam telaah sosiologi, sumber-sumber yang menegasi social capital
itu sengaja kita reduce lantaran itu sudah merupakan kebiasaan yang
mentradisi. Walau menarik menyadari bahwa tou perantauan lebih exist dan
resist walau fleksible dalam interaksinya bila dia berhadapan dengan budaya
luar layaknya berada disetiap negeri rantau. Kritik saya adalah: Meski
merasa lebih Minahasa, tidak pula memberikan kebanggaan lebih setelah ulah
dari Tou Minahasa sendiri yang notabene produk Minahasa-- Sebagai komunitas
yang memproduksi tradisi dan budaya, hanya menambah daftar panjang kelemahan
keminahasaan yang secara historis menyediakan sumber-sumber kapital yang
cukup untuk suatu pengembangan komunitas. Yang lain malah euforia dan
tampak antagonis melalui jargon "tunjung jago" yang rancu dan sering norak
pula bahan tertawa para tikus-tikus politik Jakarta. Lihat, beberapa kasus
responsivitas yang tidak akurat dalam beberapa kali even politik seperti
kunjungan delegasi Minahasa yang mewaliki Tou minahasa untuk kasus
kekosongan Gubernur sulut, pula ketika mandat Kongres Minahasa Raya yang
lebih cocok disebut arak-arakan dari pada sebuah kongres, bahkan meledaknya
gerakan berbau milisi anti syariat islam, adalah bentuk kebuntuan-kebuntuan
ide atas identitas Tou Minahasa yang di jaman revolusi kemerdekaan terkenal
cerdas pula patriotik. Cerdas dalam terminologi Minahasa "Ngaasan",
mengandung makna dalam dari sekedar responsif emosional, gagah-gagahan, atau
pun arak-arakan. Ada pertimbangan yang matang dan reasonable--bukan
retorik tapi berbasis argumen logis untuk hal yang dimaksud, dalam setiap
aksi dan tindakan, sehingga kualitas diskusi dan debat kita bukan sekedar
debat kusir di pasar blantek. Memang cocok bila merujuk pandangan Harry
Kawilarang untuk kawanua yang "modom" ketika madu "konsumtif-materialistik"
lebih memabukan komunitasnya untuk tetap lempem dan loyo dengan kesenangan
artificial itu. Seolah sadar di malam buta, merasa terjebak, dan lari
kesetanan sambil nabrak kiri-kanan. Adalah gambaran yang cocok untuk
Minahasa yang terlelap nyenyak oleh kemapanan-kemapanan artificial yang
telah menghilangkan self confidence dan self identity. Lalu
kini sadar setelah terbentur oleh kepungan tembok-tembok politik dan sosial
yang telah lama dibuat oleh kekuatan sosial politik central yang mematikan
semangat nasionalisme Minahasa. Mereka yang dari jauh hari berpikir tentang
masa depan idiologinya, lalu menyiapkan perangkap-perangkap sistimatis
sembari menyusupkan ide-ide yang pelan tapi pasti mencoreng semangat
kebangsaan dalam arti perjuangan pendahulu seperti Sam Ratulangi dan Mr
Maramis, kini dianggap sebagai jebakan idiologis yang telah membangunkan
semangat nasionalisme Minahasa. Bangun dan sadar atas kesalahan sistem
bernegara yang central dengan menempatkan agama sebagai dasar bernegara
tentu membuat multi interpretasi yang berujung pangkal pada ketakutan dan
kekalutan demokrasi Indonesia. Padahal indikator demokrasi dan tujuan
penyelenggaraan negara adalah kesejahteraan rakyat. Nah, yang satu ini
seolah sangat dekat dan akrab dengan komunitas Minahasa. Bukankah, Minahasa
lebih sejahtera dibanding daerah-daerah lain. Bukankah kita masih pelesir
dengan madu artificial ciptaan orde baru yang seharusnya sudah usang. Kok
kita kelabakan dan seolah gugup dengan Minahasa yang lempem? Barangkali
juga kita belum menjadi Minahasa. Minahasa yang cuek dengan teritorinya
ketika orang asing bertandang di tanah lahirnya dan Minahasa yang concern
dengan tanah lahirnya ketika dia berada di wilayah orang asing. Minahasa
yang padanya banyak stiqma negatif menempel sebagai trade mark Tou Kawanua
seperti; baku cungkel, pelesir, pesta-pesta dll. Minahasa yang bangga dengan
kebanggaan-kebanggaan semu misal: kala nasi mar jang kala aksi, jago bakalae,
dsb. Dan ini bukan judgement. Ini adalah telaah logis dari proses budaya
yang kasat mata. Karena itu, seharusnya kita berani melakukan rekonstruksi
atas konsepsi Minahasa dalam satu bentuk komunitas yang berbeda. Atau coba
melakukan modifikasi-modifikasi baru atas sosial capital yang masih tersisa
pada komunitas ini. Dan semua itu tentu dalam bahasan dan diskusi to be
minahasa yang ideal yang dicita-citakan oleh para pendahulu pula oleh
konsernis. Atau kita cuma menggerutu atas Minahasa sebagai suatu nasib atau
takdir yang kini bangun di tengah malam buta dan kelabakan atas kepungan
agitasi ide, budaya, dan agama seperti yang kita kuatirkan. Sejatinya, kita
lebih relevan berdiskusi tentang Minahasa kedepan dengan melakukan
dekonstruksi, dengan membongkar habis konstruksi negatif atas Minahasa
melalui identifikasi sosial budaya dan telaah historis komunitas Minahasa
terhadap faktor-faktor yang menegasi Minahasa dignity lalu berani
menata kembali struktur sosial dalam ukuran-ukuran suatu komunitas yang
kreatif, bermatabat, dalam basis budaya keminahasaan (Yang ini pun tidak
pernah berhasil terwujud karena perbedaan kepentingan yang mencolok). Atau
tidak, kita akan terus bertanya kemanakah nasib bangsa ini berakhir. Tidak
seperti Minahasa yang di benak Om Samratulangi, Om Maramis, Om Palar dan
Om-om lain sebagai komunitas yang TUMOU, Cerdas, serta kreatif mengatasi
gejala zaman.